![]() |
Perempuan-perempuan Tangguh di negeri Jiran |
Dengan ligatnya
tangan Jumailah menyekop pasir memasukkan ke dalam mesin molen (Mesin pengaduk
semen) yang terus berputar. Sesekali Jumailah menghindar ke sebelah sisi molen,
untuk menghindari percikan air semen yang bermuncratan keluar.
Beberapa meter di
sebelah kanan Jumailah, Hamidah sedang sibuk menata batu bata di dalam kereta
sorongnya untuk diangkat kepada dua tukang yang sedang menunggu untuk memulakan
kerja yang menjadi rutinitas hariannya. Keringat pagi telah membasahi sebagian
punggungnya, terlihat jelas dari kaos warna biru yang dipakainya.
Sedangkan Nuraini
dan Saniyah sebagai tukang pasang batunya, telah mempersiapkan segala
peralatannya untuk segera memulai kerja-kerjanya. Dengan tangkas mereka berdua
menceduk semen ke dalamnya tong kecilnya, sambil bergantian tangan kirinya
memasang batu-bata dengan cepatnya.
Itulah rutinitas
yang dialami dan dilakoni keempat perempuan muda tersebut setiap harinya.
Mereka berempat adalah perempuan-perempuan asal pulau Madura, dari sekian ribu
yang ada di Malaysia, yang bekerja di sektor konstruksi (bangunan) . Mereka
semua pekerja ilegal yang hanya mempunyai paspor saja, media Malaysia menyebut
pekerja ilegal itu dengan sebutan Pekerja Asing Tanpa Izin (PATI). Tapi dulu
menyebutnya lebih ekstrem yaitu dengan sebutan “Pendatang Haram”. Haram disini dalam bahasa Melayu bermakna
sesuatu yang tidak sah atau tidak pada tempatnya.
Bagi Tenaga Kerja
Indonesia (TKI) tidak berdokumen yang bekerja di sektor konstruksi begitu naif
sekali keadaannya. Senantiasa diliputi rasa was-was dan penuh waspada , dan
takut apabila ada operasi imigrasi/polisi setiap waktu. Bagi yang bekerja di area
projek pinggiran kota atau bandar, biasanya malamnya mereka tidur bersama-sama
ke hutan berhampiran. Baru setelah Shubuh tiba, mereka mulai kembali ke rumah
kongsi/bedeng yang berada lokasi projek tempat bekerjanya.
Coba kita
bayangkan.. !!
Ketika tengah malam mereka sedang tidur di hutan, lalu secara tiba-tiba hujan datang dengan derasnya. Bagaimana perasaan sengsara mereka ? Bagaimana mereka menyelamatkan diri dari hujan ?
Pernah suatu ketika, ada sepasang suami istri yang baru melahirkan dan anaknya baru berumur 2 bulan. Karena ada isu/khabar mau dioperasi di daerah tempat bekerjanya, mereka malam-malam tidur ke hutan berhampiran. Namun tidak disangka, tak berapa lama kemudian setelah baru merebahkan diri, hujan datang tanpa disangka-sangka.
Kalau anda yang berada di tempat sebagai pasangan suami isteri tersebut, apa yang akan ada rasakan ?
Ketika tengah malam mereka sedang tidur di hutan, lalu secara tiba-tiba hujan datang dengan derasnya. Bagaimana perasaan sengsara mereka ? Bagaimana mereka menyelamatkan diri dari hujan ?
Pernah suatu ketika, ada sepasang suami istri yang baru melahirkan dan anaknya baru berumur 2 bulan. Karena ada isu/khabar mau dioperasi di daerah tempat bekerjanya, mereka malam-malam tidur ke hutan berhampiran. Namun tidak disangka, tak berapa lama kemudian setelah baru merebahkan diri, hujan datang tanpa disangka-sangka.
Kalau anda yang berada di tempat sebagai pasangan suami isteri tersebut, apa yang akan ada rasakan ?
Sebenarnya, umumnya para TKI ilegal di Malaysia tersebut ingin mempunyai dokumen yang sah
dan bekerja dengan aman nyaman tanpa rasa was-was. Tapi sayang kehendak
mereka hanya menjadi igauan belaka. Ketika
terjadi program pengampunan dan pemutihan (6P) yang ditawarkan pemerintah
Malaysia tempo hari, umumnya mereka menyambut baik dan mengikuti program
tersebut untuk melegalkan diri.
Namun apa yang
terjadi...?
Keluguan dan kepolosan mereka menjadi santapan empuk pemangsa-pemangsa yang berselindung dibalik agen-agen yang tak wujud atau yang sudah didaftarhitamkan oleh kementerian Dalam Negeri Malaysia sendiri. Mereka harus mengeluarkan biaya RM4500 (Rp 15 juta ) hingga RM5500 (Rp18 juta) untuk melegalkan diri melalui program tersebut. Untuk mendapatkan uang sebanyak itu, mereka harus mengikat perut hampir 5-6 bulan lamanya.
Keluguan dan kepolosan mereka menjadi santapan empuk pemangsa-pemangsa yang berselindung dibalik agen-agen yang tak wujud atau yang sudah didaftarhitamkan oleh kementerian Dalam Negeri Malaysia sendiri. Mereka harus mengeluarkan biaya RM4500 (Rp 15 juta ) hingga RM5500 (Rp18 juta) untuk melegalkan diri melalui program tersebut. Untuk mendapatkan uang sebanyak itu, mereka harus mengikat perut hampir 5-6 bulan lamanya.
Dan pada
kenyataannya, program 6P tersebut dapat dikatakan gagal. Karena umumnya mereka
setelah mengeluarkan uang sebegitu banyaknya, banyak yang tertipu dan tidak
mendapatkan visa kerja seperti yang diharapkannya. Ada juga kasus yang sukses
dapat visa kerja, namun pada sambungan tahun kedua dan ketiga sudah tidak bisa
lagi.
Bayangkan, TKI di
Malaysia kurang lebih hampir 3 juta jiwa dan 1,8 juta didalamnya adalah TKI tak berdokumen
(ilegal). Mulai dari yang hanya punya paspor saja atau over stay hingga yang tidak mempunyai dokumen apapun. Kalau 1,8 juta TKI
ilegal ikut program 6P dengan mengeluarkan rata-rata Rp15 juta, berapa Trilyun
Rupiah uang TKI yang dikeluarkan untuk melegalkan diri.
Apakah
permasalahan TKI ini memang sengaja dipelihara kedua belah pihak ? atau sebagai
bentuk modern perbudakan namun dibungkus oleh undang-undang ? Seharusnya
pemerintah jangan melihat TKI itu dari segi ekonomi saja, namun keringat dan
airmata mereka hanya dihargai dengan rentetan program pemutihan yang tak berkesudahan.
Bahkan permasalahan TKI seringkali hanya dijadikan tawar menawar diplomasi setiap
pertemuan bilateral kedua belah pihak.
Sudah seharusnya
pemerintah pro aktif mulai sekarang berusaha untuk mengurangi pengiriman TKI ke
luar negeri. Perbanyak lapangan kerja di dalam negeri dan tumpukan pembangunan
ke daerah sumber basis TKI. Manfaatkan kekayaan sumber daya alam kita dan
dilakukan bersama-sama peningkatan sumber daya manusia itu sendiri.
Apabila itu terlaksana, maka permasalahatan TKI itu akan meredup perlahan-lahan. Sehingga kedepannya nanti Indonesia akan bebas dari permasalahan kerja yang tak berkesudahan.
Insyaa Allah.
Apabila itu terlaksana, maka permasalahatan TKI itu akan meredup perlahan-lahan. Sehingga kedepannya nanti Indonesia akan bebas dari permasalahan kerja yang tak berkesudahan.
Insyaa Allah.
Salam dari Kuala
Lumpur