Masyarakat Madura terkenal dengan ketaatan pada agamanya
serta kepatuhan kepada guru/ulamanya. Pesan dan perintah dari ulamanya bagaikan
titah dari seorang raja terhadap rakyatnya. Mereka tanpa berfikir panjang, akan
melaksanakan apa yang yang
dipesankannya, serta melakukan apa yang diperintahkannya.
Alasannya sangat sederhana, yang pertama, tidak ada guru
atau ulama yang akan menjerumuskan santri-santrinya kepada sesuatu yang tidak
baik. Alasan kedua, melaksanakan pesan dan perintahnya sebagai bentuk rasa
ketaatan kepada guru/kyainya, yang mana tujuan akhirnya adalah mengharapkan
barokah dalam ilmu yang dipelajarinya serta kebarokahan hidupnya di masa akan
datang.
Ada beberapa istilah guru (ustaz dan kyai) di dalam struktur
masyarakat Madura, Ghuruh Tolang (guru tulang) dan Gruruh Dheging (Guru
Daging). Ghuruh tolang adalah seorang guru di sekitar tempat tinggalnya yang mengajarkan kerangka-kerangka dasar
dalam beragama.
Mereka juga dikenali sebagai ghuruh lip-alipan
(alif-ba-ta-tsa), yang mana beliaulah yang mengajarkan huruf hijaiyah, mulai
dari membacanya, mengucapkannya, hingga cara menulisnya. Mereka juga yang
mengajarkan dua kalimat syahadat, cara bersuci baik hadast kecil dan besar,
cara mendirikan salat, hingga mengajarkan aneka bacaan zikir dan berselawat.
Sedangkan ghuruh dheging adalah adalah seorang guru yang
mengajarkan ilmu agama lebih tinggi dan lebih khusus penjabarannya. Biasanya
mereka berada di madrasah-madrasah dan pondok pesantren, tingkatan cara
pembelajarannya lebih terarah serta sistematis. Mereka biasanya mengajarkan
tentang ilmu Nahwu, Tajwid, ilmu fiqh hingga mempelajari aneka macam kitab
kuning di dalamnya.
Ghuruh Tolang melambangkan sebuah sikap keikhlasan,
keuletan, dan kesabaran dalam membentuk karakteristik masyarakatnya. Bagaimana tidak,
mereka ikhlas mengajar Lip-alipan tanpa dibayar dan tidak pernah mengukur apa
yang dilakukannya dengan nilai sebuah materi. Mereka meluangkan waktu
istirahatnya di malam hari, mulai dari sebelum masuk waktu maghrib hingga
menjelang matahari terbit.
Mereka dengan ulet mengajar santri-santrinya tentang
dasar-dasar ilmu agama dan adab sopan santun dalam bermasyarakat. Mereka dengan
sabar melayani sikap anak santrinya dengan aneka jenis karakter. Mereka juga
yang membangunkan anak santrinya, tatkala waktu shubuh telah tiba. Menyiram dengan
air tatkala ada anak santrinya yang susah bangun, kemudian mengantarkan ke
sumur atau sungai terdekat. Itu hanya berlaku untuk santri laki-laki saja, yang
diwajibkan menginap hingga pagi, sedangkan santri perempuan dibenarkan pulang
setelah salat waktu isya’.
Umumnya anak santri yang diasuhnya mulai umur 5 tahun hingga
15 tahun, biasanya mereka adalah anak-anak tetangga di sekitar rumahnya. Ghuruh
Tolang tidak pernah dibayar dan juga tidak pernah meminta sesuatu bayaran. Suatu
ketika dulu, para orang tua santri hanya dibebankan membayar uang minyak tanah
(karena menggunakan lampu petromaks atau lampu templok), sekarang lebih kepada
membantu membayar uang listrik yang digunakannya sendiri.
Biasanya masyarakat Madura ketika akan pergi merantau, baik
mencari ilmu atau pekerjaaan, mereka akan sowan terlebih dahulu terhadap para
guru-gurunya. Mereka akan minta petunjuk, nasehat, sekaligus pamit dan minta
izin untuk pergi merantau. Begitu juga ketika masa akan menikah tiba, mereka
juga sowan kembali, sekaligus meminta untuk mendampingi orang tuanya sampai
acara selesai.
Tatkala para anak
santrinya pulang dari rantauan, mereka akan menziarahi para guru-gurunya
kembali. Mereka membawakan buah tangan untuk keluarganya dan menceritakan apa
yang telah dilakukan selama di perantauan. Namun apa yang dilakukan oleh anak
santrinya tersebut adalah kecil, apabila dibandingkan dengan keihklasan dan
kesabaran para ghuruh tolang dalam membentuk karakteristik masyarakat Madura.
Namun sayang, para ghuruh tolang saya semuanya telah
menghadap Sang Penciptanya. Setiap pulang ke kampung halaman, hanya mampu
menziarahi ke kuburannya dan berusaha berbuat baik dengan keluarganya. Padahal saya
masih mengharapkan jewerannya tentang lika-liku kehidupan dan merindukan
mencium tangannya yang penuh guratan kasar kehidupan.
Al-Fatihah buat semua para Ghuruh Tolang
Mator Sakalangkong karena pernah ditempeleng dan disuruh berdiri satu kaki di penjuru Masjid, karena kesannya dirasakan pada saat ini.
Mator Sakalangkong karena pernah ditempeleng dan disuruh berdiri satu kaki di penjuru Masjid, karena kesannya dirasakan pada saat ini.
0 komentar:
Post a Comment
Terima kasih atas komentar-komentar anda
Saya akan berusaha membalasnya semaksimal mungkin